Pernikahan, sebuah prosesi sakral yang hampir semua orang akan melaluinya. Dimana semua suka duka kehidupan akan berbaur dengan setiap jengkal langkah. Saling bertumpu membentuk sebuah konstelasi kehidupan yang maha indah.
Saya teringat dengan ungkapan seorang mantan dosen
yang entah ia kutip darimana, atau mungkin pengalaman pribadi. Dia berkata
“Cinta itu buta, dan pernikahan yang akan menyadarkannya”. Tiga tahun yang
lalu, ketika api asmara masih membara, waktu pertama kali bertemu dengan pujaan
hati, ucapan beliau terdengar seperti kicauan burung pleci; sederhana, indah,
tapi tak bermakna. Lambat laun seiring bertumbuhnya cinta menuju jenjang
pernikahan, ucapan beliau laksana mantra yang mulai nampak kekuatannya.
Satu persatu tamparan mulai menyadarkan dari belaian
cinta buta. Seakan bergantian memberi peringatan bahwa dunia pernikahan tak
sesederhana menggoreng telor mata sapi. Bahkan tak segampang merebus mie
instan. Pernikahan tak pernah merefleksikan sebuah kebahagiaan.
Sesaat setelah ku pasangkan cincin tunangan,
tamparan pertama ku dapat. Beberapa kali ku kunjungi gedung gedung pernikahan.
Silih berganti menghubugi jasa Wedding Organizer. Berburu jasa fotografi dan
printilannya. Mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Tapi semakin banyak
informasi yang didapat, semakin mengkerut pula hati kami untuk menyewa jasa
mereka. Budget is out of range.
Baca juga: Langkah Mengurus Dokumen Nikah Terlengkap
Okay, mungkin tidak masalah dengan pesta kecil kecilan. Tanpa gedung, cukup di halaman rumah. Make up bisa pakai jasa teman. Catering cukup mengandalkan jasa tetangga. Beres!
Tiba waktunya penentuan hari baik. Terlihat
sederhana, tapi ternyata sangat menguras emosi. Keluarga besarku Jawa tulen.
Segala sesuatu didasarkan pada perhitungan primbon, weton, dan wuku. Sementara
keluarga besar si perempuan islam moderat. Penganut kepercayaan semua hari baik
kecuali selasa, mereka percaya pada hari selasa segala hajatan besar pendahulu
Islam tidak pernah berhasil di hari ini.
Memasuki tahap perundingan. Masing masing keluarga
memunculkan idealisnya. Pihak laki laki memberikan hari terbaik sesuai dengan
perhitungan primbon. Sementara pihak perempuan merasa hak mereka menentukan
hari pernikahan terusik dengan hitungan primbon. Perdebatan tak terhindarkan.
Air mata kecewa sempat jatuh. Tapi sebentar kesepakatan kedua belah pihak telah
tercapai. Pihak perempuan menyerahkan penentuan hari baik dengan metode
hitungan Jawa. Tamparan kedua baru saja terjadi.
Tamparan ketiga mulai muncul. Tak jarang ku temui
berbagai tingkahnya yang sangat menguras emosi. Perlahan tapi pasti, ku temui
kesulitan memahami pola pikirnya. Pagi cerah, siang berawan, sore tak tau lagi
kemana arah matahari.
Memang watak anak perempuan pertama. Keras kepala
dan semaunya. Dia sudah digariskan untuk kuat pendirian. Karena ia merasa bahwa
beban keluarga berada tepat dipundaknya. Tapi tak bisa ku sangkal, dia penuh
dengan kasih.
Sebuah perubahan tak pernah menyenangkan. Ia
menuntut penyesuaian. Proses nya tak pernah terasa nyaman. Tapi satu pola yang
selalu terjadi bahwa setiap perubahan akan merubah mental menjadi pribadi yang
baru. Dan proses yang sedang berjalan akan mengingatkan kita untuk tak bersikap
lagi sebagai sepasang kekasih yang masih dilanda cinta buta.
Baca juga: 7 Hal yang Wajib Disiapkan Menjelang Pesta Pernikahan